Mungkin aku adalah tipikal orang serupa tarzan, yang ‘wild’ dan
berteman dengan berbagai satwa. Atau mungkin terlalu jauh jika aku
menyamakan diri seperti Abu Huroiroh, salah seorang sahabat rosul yang
karena perlakuan istimewanya terhadap seekor kucing, menjadikan ia
dijuluki sebagai Abu Huroiroh atau bapaknya kucing.
Sejak kecil aku sudah akrab dan berteman dengan berbagai hewan, Baik
hewan ternak atau hewan yang hidup bebas yang sesekali menghampiri
tempat aku bermain.
Karena aku dibesarkan di dusun yang masih asli
dusun, jauh di pelosok kota kabupaten Sukoharjo.
Mulai dari ayam sampai ular yang acapkali menggelosor menyeberangi badan
jalan atau yang melingkar dibawah pokok pisang, bahkan mereka
bergelantungan di pucuk bamboo berayun-ayun sudah menjadi hal biasa yang
aku lihat, malah kadang aku merindukan mereka jika tak melihatnya.
Kadang aku geli sendiri mengingat kejahilanku di masa kecil. Sedianya
mancing ikan di kali kecil samping rumah, melihat seekor ular hitam
turun ke permukaan air kuarahkan matapancing yang tertutup cacing kea
rah ular itu.
Tak ayal si ular menghampiri dan tak sadar aku membawanya ke arahku.
Setibanya di tepi kali baru aku ngeh bahwa si hitam panjang sudah
setengah berdiri. HUAA!!
Reflek kulempar joran bamboo dan ngibrit menuju
rumah, hahaha.
Kalau untuk yang kalem-kalem, jaman dulu Eyang Buyutku khususnya, dan
dusunku pada umumnya memelihara anjing untuk jagain rumah. Masa kecilku
belum kenal tuh, air liur anjing najis, daging anjing haram. Seperti
banyak anak kecil lainnya, pasti gemes sama yang namanya ‘kirik’
–sebutan untuk anak anjing-.
Tak jauh beda denganku, karena aku tak punya banyak teman main –temanku
hanya seorang kakak sepupu yang sepantar denganku, karena jarak antar
rumah masih sangat jauh-. Jadilah aku bermain dengan anjing-anjing kecil
itu.
Mereka aku mandikan, disampo, dibedaki, kasih minyak wangi, diajak
ngobrol. Wuah!! Padahal belum ada tivi tuh, jadi nggak tahu kalau orang
bule juga seperti itu, hehehe.
Tak jauh beda dengan anjing begitupun dengan kucing di rumah, bukan
peliharaan sih, tapi karena sering di rumah diaku deh jadi hak milik.
Esspecially, kalau sama kucing tuh lebih ada cemistrynya (jiaahh..).
Mereka rajin bersih-bersih diri, suka manja, dan matanya itu lhohh
(meski orang suka mewakilkan kata puppies eyes) aku lebih tergoyahkan
(heulehh) akan tatapan kucing ketika lagi mengharap sesuatu, hehehe
Nhaa, khusus masalah kucing, aku sering crash sama bapak dan emakku,
juga orang-orang sekitarku. Suatu ketika aku mendengar bunyi anak kucing
mengeong seperti minta tolong –menurutku begitu- kucari sumber suara
ternyata dari seberang kali kecil belakang rumah.
Alhamdulillah debit airnya sedang surut jadi aku langsung turun ke kali
untuk mengambilnya. Sukses kubawa ‘si Cemeng’ kumandikan karena
rambutnya kuyup dan berlumpur. “Jan, nggilani tenan. Kurang gawean.” Seorang tetangga kost nyeletuk,
“Guwaken kono!” lanjutnya lagi.
“Wah, piye to Lik. ‘Kan karena dia dibuang makanya aku ambil. Yang
kurang kerjaan tuh yang buang. Sempet-sempetnya buang anak kucing, nggak
mungkin deh kalau anaknya Cuma satu. Berarti orang yang buangnya harus
jalan jauh buat misah-misah mereka. Hehehe”
“Jangan sampai ya, kucingmu masuk ke tempat orang-orang kalau nggak mau
dibuang!” kata tetangga lain.
“Sip..” aku melenggang menuju tanah lapang samping kost an untuk
menjemur Cemeng. Tahu nggak dimana aku mengamankan Cemeng? Di kamar
kost, jika aku keluar maka ku masukkan ia dalam kardus ke dalam lemari,
hehehe
Tapi
Cemeng tidak lama bersamaku, tanpa sepengetahuanku bapak membawa Cemeng
ke pasar.
Aku diberi tahu ibu saat pulang kerja hendak mengambilnya
dari lemari –ia biasanya melingkar pulas ketika ada dalam lemari
“Bapak bukannya ndak suka, tapi orang-orang geli kalau ada kucing di
kost an. Tahu sendiri kalau ada kucing datang langsung di siram air.”
Hiks, kata-kata ibu hanya lewat begitu saja di depan mulutku yang
manyun.
Lain lagi ceritaku tentang si Manis berkumis. Setelah menikah aku
boyongan ikut suami pindah ke Bandung. Menempati rumah kontrakan yang
alhamdulillaah bikin betah, karenaa… beberapa hari setelah kedatangan
kami, datang tamu yang sangat manis –menurutku-
Luna Little White, karena warnanya hitam, putih di hidung -dagu- leher
depan - dada dan perut, juga jemari kakinya sehingga menyerupai memakai
sepatu atau kaos kaki.
Aku memanggilnya Luwi, sejak kedatangannya
pertama kali ia selalu ke rumah dan akhirnya memang tinggal di rumah
kami.
Dan senangnya tetangga sebelah adalah seorang nenek yang juga penyayang
kucing. Ia mempunyai seekor kucing jantan keturunan anggora. Namanya
Joni, rajin ke kloset kalau mau buang air. Joni gahnteng alias gagah dan
ganteng (jiah bisa aja kucing ganteng :p).
Kehadiran Luwi juga mengundang teman-temannya yang notabene kucing liar
–bukan kucing garong ya, karena mereka nggak ada yang rese, menurutku-.
Mereka rajin datang pada saat jam makan siang dan makan malam. Hehe…
tau aja mereka timing pas buat ngumpul.
Aku suka ngarep kalau Joni sama Luwi bakalan cinlok, apalagi mereka
sering main bareng. Biar aku punya kucing berdarah Anggora juga hehehe…
Tapi ngarepku nggak kesampaian, ketika melahirkan anak –anak pertamanya,
satupun anak Luwi nggak ada warna yang diturunkan dari Joni. Warnanya
hitam putih, ada juga yang ‘telon’ hitam, putih, kuning cenderung oranye
dan mereka berambut pendek.
Ketika Luwi beranak, suamiku yang paling heboh –karena hanya dia
sorangan di rumah selain aku -
“Jangan sampai anaknya digondol ke dalam rumah, jangan sampai aku
mencium aroma asem dari mereka. Kalau anaknya sudah gedean kasih orang
atau bawa ke tempat sampah.” Apa?!! Tempat sampah, maksudnya aku suruh
buang mereka?! Main nahin. Aku diam saja, pokoknya urusin Luwi dan
anak-anaknya supaya selalu bersih dan sehat.
Sayang anak-anak Luwi tidak ada yang kembali saat terjadi banjir
menghampiri blok kami. Luwi familys sedang pergi main ketika banjir
datang.
Esoknya Luwi pulang sendirian, duhh… aku sedih banget kehilangan
mereka.
Karena peristiwa banjir itu, suami dan aku rajin mencari rumah atau
kontrakan. Pokoknya nggak mau lagi kebanjiran. Akhirnya tibalah saat
kami pindah rumah jauh ke daerah atas. Dan Luwi tak boleh kubawa serta,
sedih lagii…
Aku berharap Luwi bisa mengikuti jejak kami, aku tau tatap matanya saat
aku pergi meninggalkannya di teras rumah.
“Luwi, maaf ya aku nggak bisa bawa kamu. Jangan pergi ke mana-mana,
tinggallah di sini. Mudah-mudahan penghuni yang baru nanti akan
menyayangimu juga.” Aku mengelusnya sebelum pergi, seperti biasa ia
mengangsurkan jidatnya lebih dalam ke telapak tanganku.
Sungguh, airmata sudah menggenang di pelupuk namun kutahan menjadi
sesuatu yang tercekat di tenggorokan. Selamat tinggal Luwi, masih ada
Joni dan juga nenek yang mungkin mau berbagi sepiring nasi.
Seminggu kemudian kami, aku dan suami kembali ke rumah lama untuk
membersihkan dan merapikan rumah sebelum kontraktor baru datang.
Sebenarnya masih ada tiga bulan lagi tempo ngontraknya.
Tak lama ketika sedang ngepel di ruang kamar, Luwi datang menghampiri,
“Luwi!? Senangnya… kupikir kamu sudah pergi dari rumah. Kamu kusam dan
kurusan, “ suaraku melirih.
“Masih ingat dia, ke kamu!” suamiku datang mendengar aku menyebut Luwi.
Aku hanya mendesis dengan mata bulat ke arahnya.
“Lihat, Ai… kusam dan kurus. Please, boleh ya aku bawa pulang ke rumah?”
Suaraku begitu menghiba. Luwi anteng dalam gendonganku.
“Kamu lagi hamil, nanti kalau sudah lahiran ngurusin Luwi juga? Nanti
kalau Luwi punya anak juga, aku siapa yang ngurus?” Ih, jawaban yang
nggak banget!! Akhirnya sekali lagi sediiihh..
Sesekali kami silaturahim ke nenek sebelah, karena beliau satu-satunya
tetangga yang perhatian bahkan kami sudah seperti nenek dan cucu
sebenarnya. Tetangga lain kemana? Yah begitu deh, tinggal di komplek.
Paling ketemu, ngobrol kalau pas ngariung di gerobak Mang Sayur.
Kutengok mantan rumah kami. Kosong, teras berdebu, dan… tak ada Luwi.
“Nek, nggak pernah lihat si Luwi?”
“Da nenek mah udah nggak pernah lihat lagi, Neng. Terakhir nenek kasih
makan sama si Joni. Seminggu dari Neng beberes rumah.”
Hmmh, mungkin Luwi sudah dapat ‘rumah’ baru. Setiap aku berkendara di
komplek itu melihat kucing hitam kuharap itu Luwi, tapi bukan. Aku hafal
betul matanya.
Dan berakhir sudah antara aku dan Luwi, kecuali kenanganku bersamanya.
Setahun di rumah kontrakan yang baru, aku 'tak tumbuh kasih' pada kucing.
Meski kadang ada yang datang numpang istirahat di halaman rumah, mereka
tak seramah Luwi, begitu ku dekati sudah kabur duluan. Dasar kucing
garong, :-D
Akhirnyaa… rumah kami selesai sudah, meski belum seratus persen tapi
sudah nyaman untuk ditempati. Pindah lagi, semoga tidak lagi jadi
kontraktor -kaalau suami di pindah tugas?-.
Di rumah baru kisah Luwi berulang, kami kedatangan seekor kucing
berwarna.. apa ya? Abu-abu, bukan… yah boleh di sebut abu-abu, batik
juga boleh hehehe, dan… BETINA. Seperti Luwi, ia jinak dan manja. Apa
memang kucing betina itu manja? Ah, pejantan juga suka manja. Sudah
sifatnya kucing kale suka dielus dan manja
Untuk yang ini, aku tidak mau memberi nama, kupanggil selazimnya kucing.
Pus, pus..! Begitu kalau aku memberinya makan. Terserah dia mau tinggal
atau sekedar mampir berteduh di teras sambil baringan. Aku patah kasih,
tak ingin bersedih lagi kehilangan kucing kesayangan.
Yah, Pus nggak pernah masuk rumah. Dia hanya bermanja ketika aku ada di
teras. Sampai dia hamil, aku hanya menyediakan kardus bekas mie instant
yang kuisi kaos-kaos bekas. Mungkin nanti dia memerlukannya.
Kuletakkan kardus di pojok samping rumah, tempat paling aman dan
terlindung sinar matahari pun dari udara dingin. Hehe… ternyata kardus
itu tak pernah disinggahi Pus dan anak-anaknya, dia memilih melahirkan
di loteng tetangga sebelah yang ternyata mereka –suami istri- penyayang
kucing.
Jadi diuruslah si Pus –yang dapat julukan Si Ibuk dari ibu nenek
(panggilan dari anakku buat istri tetangga)- bersama anak-anaknya. Nggak
tau pada kemana mereka, sekarang hanya tinggal Si Heik (kucing jantan
keturunan pertama si Ibuk).
Heik, dinamai demikian karena ia tak bisa mengeong selayaknya kucing.
Saat bersuara ia hanya mengeluarkan suara serak di kerongkongan berbunyi
‘heiik’. Tapii, Heik ganteng mengingatkan aku pada Joni. Hanya saja
Heik berambut pendek dengan warna putih abu-abu.
Sementara si Ibuk hanya datang ke rumah pasti pada saat perutnya buncit.
Entah sudah yang keberapa? Aduhh, pantesan dipanggil Ibuk, beranak
terus siih :-D
Pernah
saat mengajari anak-anak mengaji di masjid terdengar suara bayi-bayi
kucing, berasal dari samping masjid. Kutengok ada lima ekor
kucing-kucing mungil berwarna kuning merangkak kesana-kemari, tak jauh
dari mereka ada sebuah kardus mie.Pasti orang kurang kerjaan tuh hehe..
Hahh.. aku hanya bisa menarik nafas,’maaf ya sobat-sobat kecil aku tak
bisa membawa kalian’ hatiku bicara.
Dan mungkin salah satu dari mereka
mendengar kata hatiku, karena esok pagi aku mendengar suara bayi kucing
di samping garasi.
Jarak rumah dan masjid hanya terpisah dua rumah, yah kira-kira tigapuluh
meter anak kucing itu berjalan dengan penglihatan masih samar, karena
benar-benar bayi kucing. Jalannya masih terhuyung, teganya orang yang
membuang mereka.
Tak henti mengeong kuambil dia dalam genggaman, aman suami sedang
‘ngantor’.
Kubuatkan susu secawan kecil, dijilatinya dengan lahap meski
hidungnya sesekali tersuruk. Mungkin karena hilang hausnya ia pun diam
dan tertidur. Kutinggal ke dapur untuk bekerja.
Tak berselang lama ia mengeong dan berjalan-jalan terhuyung,
“Awas
jatuh,ada tangga!” teriakku melihatnya mendekati sebuah undakan dari
garasi menuju dapur. Ishh, sudah sinting nih orang. Mungkin itu yang
akan dikatakan suamiku jika mendengarnya, haha..
Aku berlari menghampirinya, kuelus ia terdiam seolah menikmati dan
menemukan kasih sayang. Hm, gimana nih… kerjaan belum beres, masa’ iya
aku harus ngelus-ngelus dan mendekapmu. Aha! Kumasukkan ia ke dalam saku
celemek, berhasil ia melingkar tenang. Kesana-kemari tanpa merasa
terganggu ia tidur dalam saku, sesekali menggeliat.
“Assalamu’alaikum… Mbak, nih nganter anak-anak.” Seorang tetangga jauh
datang bersama anakku dan dua anaknya.
“Wa’alaikum salam. Masuk, lagi nyuci piring nih.” Aku mengeraskan suara
supaya terdengar ke luar.
“Belum beres?”
“Tuh lihat sendiri, hehehe” tiba-tiba saku celemekku bergerak.
“Apa itu, mbak?” temanku melongok ke dalam saku,
“AAW!” kotan jeritannya
mengundang kehadiran anak-anak.
“Ada apa, Mama?” anaknya yang besar memandang mamanya yang bergidik
menunjuk saku celemek.
“Lihat, lihat…” yang lain melongok,
“Ada adik bayi kucing!!” suara anakku membuat aku dan temanku tertawa
bersama.
“Hiyy, geli aku mbak.”
Yahh, sometimes kita harus merelakan yang memang sudah bukan milik kita.
Si ‘adik bayi’ pergi setelah hampir seminggu di rumah kami. Aku
menemukannya ‘tidur’ di luar garasi. Mungkin semalam dia keluar dan
tidak bisa masuk lagi, sehingga kedinginan.
Dan kecintaanku pada kucing masih sangat besar meski tak bisa memiliki
mereka. Cinta, haruskah memiliki?
(Sadang, 24 Mei 201. Tulisan lama, sebelum tahu banyak tentang mereka, hanya modal SSC ; rasa Suka, sayang, cinta. Alhamdulillaah, sekarang suami pun tak keberatan kami di rumah ngurus mpus.)
Tulisan ini diikutkan untuk event
Rumah Ronin